Sabtu, 02 Oktober 2010

ADAT ISTIADAT MINANGKABAU

Setiap suku bangsa atau bangsa, sejak dari yang tertutup atau primitif sampai kepada yang terbuka struktur masyarakatnya atau modern, umumnya mempunyai pandangan hidup sendiri, yang berbeda satu dengan yang lainnya.Begitu pula dengan Suku bangsa Minangkabau (orang Minang), yang merupakan salah satu suku bangsa yang membentuk bangsa Indonesia mempunyai pandangan hidup sendiri yang berbeda dengan pandangan hidup suku-suku bangsa lainnya. Pandangan hidup orang Minang tertuang dalam ketentuan adat, yang disebut dengan ADAT MINANGKABAU.

Dapat diakatakan bahwa Adat Minang adalah merupakan falsafah kehidupan yang menjadi budaya atau kebudayaan Minang. Ia merupakan suatu aturan atau tata cara kehidupan masyarakat Minang yang disusun berdasarkan musyawarah dan mufakat dan diturunkan secara turun temurun secara alamiah. Pengertian adat dalam kehidupan sehari-hari orang Minang memberikan makna sebagai Sawah diagiah bapamatang, ladang diagiah bamintalak, Nak babedo tapuang jo sadah, Nak babikeh minyak jo aia, Nak balain kundua jo labu.
Ungkapan petatah petitih ini merupakan kaidah sosial yang mengatur tata nilai dan struktur masyarakat, yang membedakan secara tajam antara manusia yang berbudaya dengan binatang dalam tingkah laku dan perbuatannya. Dengan demikian adat Minang mengatur tata nilai dalam kehidupan mulai dari hal yang sekecil-kecilnya sampai kepada perihal kehidupan yang lebih luas, misalnya kehidupan politik, ekonomi, hukum, dsb.

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya adat Minang sampai dewasa ini, terdapat empat jenis adat yang berlaku diadat , yaitu:

1. Adat istiadat
2. Adat nan teradat
3. Adat nan diadatkan
4. Adat nan Sabana adat.

Adat jenis 1 dan 2 diformulasikan melalui musyawarah mufakat dari suatu kelompok (nagari) masyarakat sesuai dengan kondisi dan priode waktu tertentu. Karenanya kedua jenis adat ini dapat berubah disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Jenis adat 3 adalah diformulasikan dengan kesepakatan berdua oleh Dt.Perpatih nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan. Dt.Perpatih Nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan adalah dua orang pemikir dan peletak dasar adat Minangkabau. Merekalah yang membuat patokan-patokan yang akan diberlakukan bagi anak keturunannya, yaitu masyarakat Minangkabau. Patokan-patokan yang telah mereka buat itu kemudian terlestarikan dalam bentuk TAMBO ADAT MINANGKABAU. Tambo adalah teks yang menjelaskan penghadapan Minangkabau dengan dinamika sejarahnya, bagaimana perubahan bisa diterangkan dan bagaimana pula realitas sekitar harus difahami. Dengan demikian Tambo bukan saja merupakan pertanggungan jawab kultural, tetapi juga landasan tradisi. Tambo memberikan patokan-patokan rasionalitas tentang hal-hal yang menguntungkan, dan landasan normatif tentang hal-hal yang menyenangkan. Dengan kata lain Tambo dapat dilihat sebagai Weltanschaung dan sekaligus ethos Minangkabau berdasarkan ketentuan dan sifat alam yang berkembang, dihimpun dalam bentuk petatah petitih Minang, dan sifatnya tetap dan tidak berubah dan sesuai sepanjang masa.

Sedangkan adat jenis ke 4 ialah aturan atau ketentuan kehidupan yang terjadi menurut sifatnya berdasarkan ketentuan alam ciptaan Tuhan dan juga berdasarkan ketetapan ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu adat ini juga bersifat kekal. Hal ini terungkap dalam ungkapan : Bamain api tabaka……Bamain aia basah……Bulek aia dek pambuluh….Bulek kato dek mufakat dsb…. Dari penjelasan di atas tampak bahwa ketentuan adat yang disusun dari ketentuan alam, baik sifat atau hukumnya yang bersifat logik dan benar, tidak bisa dibantah kebenarannya. Kebenaran yang tidak bisa dibantah inilah yang terdapat pada adat jenis 3 dan 4, yang disebut dalam petatah petitih : Adat nan indak lakang dek paneh, indak lapuk dek hujan, dibasuh bahabih aia, dikikih bahabih basi, dianjak tak layua, dibubuik tak mati.
Artinya : Bermain api terbakar – karena sifat api itu memang membakar, bermain air itu basah, karena sifat air itu basah dan membasahi. Bulat air karena pipa, karena sifat air mengikuti tempatnya. Bulat kata adalah karena mufakat.
Artinya : Adat yang tidak lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan, jika dibasuh menghabiskan air, jika dikikis menghabiskan besi, jika dipindah ia tidak akan layu, dan jika dicabutpun ia tak akan mati

Sifat adat Minang, sebagai akibat logis dari jenis adat di atas maka dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu yang lestari dan yang berubah Selagi orang Minang taat memeluk agama Islam dan beriman serta bertaqwa kepada Allah swt, maka nilai-nilai yang terkandung di dalam ketentuan adat nan sabana adat akan lestari sepanjang masa. Seseorang yang mengaku orang Minang akan/harus mematuhi ketentuan-ketentuan agamanya yang dipakaikan dalam adat tersebut. Demikian juga struktur masyarakat Minang yang tersusun menurut garis ibu dimana pewarisan sako dan pusako yang telah dimantapkan oleh nenek moyang mereka Dt.Perpatiah nan Sabatang dan Dt.Ketumanggungan, akan tetap menurut garis ibu. Seseorang hanya berhak mewarisi sako (penghulu adat) kalau lai tumbuh dibukunyo, artinya yang bersangkutan jelas silsilah atau ranjinya menurut keturunan garis ibu yang ikatannya adalah batali darah, yang dikenal dengan ungkapan :….Biriak biriak turun kasasak….Tibo disasak makan-makan….Dari niniak turun ka mamak….Dari mamak turun ka kamanakan.

Begitu juga pewarisan pusako (harta pusaka) pada dasarnya tetap melalui garis keturunan ibu. Kedua contoh ketentuan adat tadi tidak akan mengalami perubahan, dan bersifat sangat prinsip dalam struktur masyarakat dan adat Minang. Tentu saja tidak seluruh jenis adat bersifat tetap, nan tak lakang dek paneh dan tak lapuk dek hujan. Jenis adat nan teradat dan adat istiadat dapat saja berubah sesuai dengan keadaan lingkungan dan kemajuan zaman. Ketentuan ini diungkapkan dalam petatah petitih : .Sakali aia gadang….Sakali tapian baranjak….Walaupun barubah disitu situ juo...Sakali gadang batuka..Sakali peraturan barubah..Namun adat baitu juo.
Artinya : Sekali air besar/bah, maka tepian mandi ikut berubah, walaupun berubah, perubahannnya hanya di sekitar tempat itu juga. Jika terjadi perubahan keadaan dan lingkungan, maka peraturannyapun ikut berubah, tidak terkecuali adat Minang.

Jadi pada umumnya adat Minang itu bersifat terbuka hal ini sejalan dengan ungkapan yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu : Dimano bumi dipijak, disitu langik dijunjuang…Dimano ranting dipatah, disinan aia disauk…Masuk kandang kambiang mangembek…Masuk kandang kabau malanguah…Tibo di rantau induak samang dan dunsanak cari dahulu. Dengan demikian ketika kita hendak mencoba memahami adat Minang, yang perlu untuk kita ketahui adalah nan ampek (yang empat) Yang dimaksud dengan yang empat itu adalah, bahwa patokan-patokan hidup itu didasarkan pada ungkapan-ungkapan yang disederhanakan dalam bentuk pasangan-pasangan aturan itu didasarkan atas empat patokan. Nan ampek itu ialah :

1. Asal suku di Minangkabau adalah ampek; Bodi, Caniago, Koto dan Piliang.
2. Mula-mula adat diciptakan oleh nenek moyang kita adalah; adat bajanjang naik batanggo turun,adat babarih babalabeh, adat baukua jo bajangko, adat batiru bataladan.
3. Jalan yang harus dilalui dalam hidup ini ada empat; jalan mandata, jalan mandaki, jalan melereng dan jalan manurun
4. Ajaran adat ada empat; raso, pareso, malu dan sopan.
5. Dasar nagari ada empat; taratak, dusun, koto dan nagari.
6. Kato-kato ada empat; kato pusako, kato mufakat, kato kamudian dan kato dulu.
7 . Hukum ada empat; hukum ilmu, hukum kurenah, hukum sumpah dan hukum perdamaian.

Setalah diuraikan dari keterangan diatas maka menurut saya dapat disimpulkan bahwa dalam adat minangkabau terdapat beberapa ketentuan-ketentuan yang memberikan ciri khas adat minang sebagai falsafah dan pandangan hidup. Ketentuan-ketentuan ini dapat digambarkan dalam bentuk pernyataan langsung maupun dengan pepatah petitih,gurindam,pantun.falsafah dan pandangan tersebut.

Jadi dasar falsafah adat Minangkabau itu bertumpu pada ketetapan-ketetapan Allah dan Rasulnya, yang tertuang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul- Nya, termasuk yang dapat dicermati dari ayat-ayat Kauniah yang berupa Sunnatullah (hukum alam). Sedangkan pemikiran para filosof Minang sendiri menempati posisi yang paling rendah dari dasar falsafat adat Minang tersebut.

Sumber : http://potensidaerah.ugm.ac.id/?op=berita_baca&id=191